Analisis Strategi Penjualan pada Hero dan carefour


Penerapan Strategi Mark Down Untuk Peningkatan Penjualan Suatu Produk Serta Pengaruhnya Terhadap Citra Produk




Sumber : http://imbix.wordpress.com

Pricing merupakan salah satu strategi dalam marketing yang dapat dilakukan untuk menjaga suatu produk (barang/jasa) agar disukai konsumen dan memimpin di pasaran. Dengan pricing sebuah produk dapat mengekspresikan nilai (value) yang dikandungnya, yang akan didapatkan seseorang yang mengkonsumsinya. Menurut Raymond Corey harga adalah ekspresi nilai, dimana nilai menyangkut kegunaan dan kualitas produk, citra yang terbentuk melalui iklan dan promosi, ketersediaan produk melalui jaringan distribusi dan layanan yang menyertainya. Dengan kata lain, harga adalah estimasi penjual terhadap arti semua hal tersebut bagi para pembeli potensial, dan menyadari opsi lain yang dimiliki pembeli, karena memenuhi kebutuhan atas produk yang bisa memuaskannya. Tulisan ini mencoba mengulas artikel di media massa mengenai strategi mark down (penurunan harga) untuk merebut pasar dan meningkatkan penjualan serta pengaruhnya terhadap citra suatu produk yang telah memiliki positioning cukup kuat di pasar.

Untuk mendapatkan gambaran yang cukup mengenai strategi mark down akan dituliskan beberapa kasus yang cukup relevan dengan bahasan ini, kasus pertama adalah Marlboro pernah melakukan strategi mark down (penurunan harga), dimana hal ini dilakukan karena Marlboro digempur rokok kemasan privat label di Amerika Serikat. Rokok jenis ini cenderung memasang harga lebih murah yang secara perlahan-lahan menggerogoti pangsa pasar Marlboro. Keadaan ini berlangsung terus menerus selama beberapa waktu, sehingga para eksekutif Marlboro setelah mempertimbangkan berbagai hal memutuskan untuk melakukan mark down dan mengkomunikasikan dengan baik langkahnya. Sebagai rokok yang telah memiliki brand image sangat kuat Marlboro tentu tidak khawatir akan berpindahnya konsumen ke private label, namun lebih pada agar citra mereknya tidak berpindah ke merek lain. Tentu kita sadari apabila kita mengkonsumsi suatu produk yang bukan merupakan produk terbaik di kelasnya, anggap saja mungkin karena harganya yang lebih murah, dan kita merasa cukup puas sehingga hari berikutnya kembali kita memutuskan mengkonsumsi produk yang sama, apabila hal ini berlangsung berulang-ulang maka preference kita terhadap produk ini semakin besar dan akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menggunakan produk yang kita anggap terbaik tadi, untuk apa mengeluarkan uang lebih untuk suatu produk apabila ada produk lain yang dapat memberikan kepuasan yang sama namun dengan harga yang lebih murah. Dan ternyata keputusan mark down Marlboro ini sukses, respon konsumen terhadap Marlboro kembali meningkat. Marlboro dianggap memberi nilai tinggi buat mereka, termasuk bagi para pelanggan loyal. Kasus yang hampir sama adalah saat Pantene juga melakukan strategi mark down yang cukup signifikan. Shampo yang menyasar segmen luas dari sachet sampai kemasan botol ini, memasuki pasar tanah air dengan harga jauh di atas pemimpin pasar Sunsilk dan Clear, dan dengan kualitas yang jauh di atas keduanya pula, hal ini menandakan Pantene menerapkan strategi Skimming Pricing untuk merebut pasar dan positioning untuk kelas premium. Setelah beberapa waktu memakai strategi ini diketahui bahwa pangsa pasar pantene tergolong kecil, sehingga setelah melalui analisis mendalam P&G menurunkan harga yang cukup signifikan, dan hasilnya konon saat itu Pantene benar-benar laris di pasaran. Kasus yang berbeda dari dua kasus di atas adalah Mercedes-Benz dahulu pernah memproduksi mobil yang harganya “terjangkau”. Mercedes-Benz mengeluarkan produk dengan harga ini untuk mencoba memperbesar pangsa pasarnya terutama untuk merebut konsumen merek mobil lain yang harganya dibawah Mercedes-Benz. Ternyata pelanggan loyalnya keberatan, mereka menolak Mercedes-Benz menjadi mobil pasaran, apalagi digunakan oleh orang-orang yang belum memenuhi syarat untuk memiliki Mercedes-Benz.

Dari kasus-kasus di atas dapat diketahui bahwa tidak selamanya mark down suatu produk yang memiliki positioning baik, tidak dengan serta merta akan disambut dengan antusias konsumennya. Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari kasus di atas:

1. Produk yang akan melakukan mark down harus merupakan produk dengan positioning yang kuat. Tentu saja hal ini dikarenakan konsumen tidak akan terlalu mempedulikan apabila ada suatu produk yang melakukan mark down namun belum memiliki pelanggan. Sebaiknya produk dengan positioning yang rendah memilih strategi pemasarannya dengan cara yang lain, bisa dengan lebih gencar mengkomunikasikan produknya dengan baik melalui iklan maupun dengan strategi lainnya, sehingga didapatkan positioning yang kuat. Sedangkan untuk produk baru di pasaran dapat menggunakan strategi skimming pricing maupun penetration pricing. (Kottler, 2006)

2. Produk yang akan melakukan mark down bukan produk eksklusif. Seperti pada kasus Marlboro, mengapa setelah melakukan mark down Marlboro sama sekali tidak mengalami erosi ekuitas merek dan disambut dengan baik oleh pelanggannya?, namun mengapa Mercedes-Benz yang melakukan hal yang sama justru ditentang oleh pelanggannya. Tidak lain karena Marlboro selain memiliki positioning yang kuat juga bukan tergolong produk yang eksklusif (dapat dikonsumsi oleh masyarakat dalam segala tingkatan ekonomi) berbeda dengan Mercedes-Benz yang hanya dapat dimiliki oleh kalangan dengan tingkat ekonomi atas.

3. Manajemen yang akan melakukan mark down terhadap produknya harus benar-benar menghitung apakah strategi ini tidak mengancam kelanjutan perusahaan (mengganggu cash flow perusahaan), sebab penurunan harga sama dengan penurunan laba, apabila tidak segera tertutupi oleh peningkatan penjualan sama saja perusahaan menggali kuburnya sendiri. Harus dihitung dengan benar persentase jumlah penurunan harga dengan jumlah peningkatan penjualan produk yang diharapkan.

4. Kapasitas produksi perusahaan harus mampu memenuhi jumlah peningkatan demand produk yang di mark down. Apabila kapasitas produksi tidak mampu memenuhi peningkatan demand, maka harga produk di pasaran akan kembali naik, yang akhirnya tidak berdampak apa-apa terhadap peningkatan penjualan produk.

5. Pelaksanaan strategi mark down harus dikomunikasikan dengan baik kepada konsumen, hal ini untuk menghindari persepsi yang tidak benar terhadap produk yang di mark down.

Menurut Kottler strategi mark down memiliki beberapa kelemahan yaitu:

1.Apabila terlalu sering dilakukan maka konsumen akan senantiasa menunda pembelian suatu produk hingga saat produk tersebut dijual murah (mark down).

2. Strategi ini seringkali hanya dijadikan cara tercepat oleh produsen untuk merebut pasar, padahal sesungguhnya merebut pasar harus dilakukan dengan pengembangan dan kerja keras dalam jangka waktu yang panjang.

3. Setelah melakukan mark down biasanya perusahaan akan sulit untuk kembali ke harga semula. Sebab apabila menaikkan kembali ke harga awal bisa jadi konsumen akan beralih ke produk pesaing.

4. Mark down akan mendorong perusahaan pesaing melakukan hal yang sama, ini akan menyebabkan terjadinya perang harga. Apabila terjadi terus menerus maka seluruh produsen akan mengalami kerugian.

Sesuatu yang cukup menarik apabila kita menanyakan akankah citra sebuah produk tidak terpengaruh sama sekali atau malahan menjadi buruk di mata konsumen apabila melakukan mark down. Selama ini orang beranggapan bahwa loyalitas konsumen terhadap image suatu produk mengalahkan sensitivitasnya terhadap harga. Bahwa seorang konsumen yang loyal akan mau membayar berapa saja untuk sebuah merek juga anggapan bahwa dengan naiknya brand loyalty akan meningkatkan profitabilitas 85%, yang dapat diinterpretasikan asal konsumen loyal maka produsen dapat menaikkan harga produk sesukanya (memaksimalkan laba yang didapatkan dari produk tersebut). Masih relevankah pendapat itu di masa kini?. Jawabannya menurut penulis bisa ya bisa juga tidak, tergantung apakah produk tersebut merupakan produk eksklusif atau tidak. Dari kasus Mercedes-Benz di atas dapat kita tangkap bahwa mempertahankan loyalitas konsumen jauh lebih penting daripada mencoba memperluas pangsa pasar melalui mark down, apalagi Mercedes-Benz bermain pada kelas premium. Sehingga asal mereknya Mercedes-Benz maka pelanggan mau membayar dengan harga yang tinggi, karena menurut pendapat mereka Mercedes-Benz adalah mobil dengan jaminan kualitas yang memuaskan dan tidak semua orang dapat membelinya sehingga meningkatkan image penggunanya, maka saat diluncurkan Mercedes-Benz dengan harga yang lebih murah yang tentunya dengan kualitas lebih rendah, otomatis pelanggan Mercedes-Benz menolaknya karena akan merusak value yang sudah terbangun tersebut. Hal ini tentu tidak berlaku terhadap produk yang tidak eksklusif seperti Marlboro dan Pantene, awalnya kedua produk ini bisa mempertahankan loyalitas pelanggannya, karena menawarkan value lain dibandingkan dengan produk lain, sehingga kedua produk ini bisa bermain pada harga yang lebih tinggi dibanding produk pesaingnya. Namun dengan semakin banyak dan gencarnya pesaing yang terus mencoba memperbaiki produknya, mengkomunikasikannya setiap saat kepada masayarakat melalui berbagai saluran komunikasi, setelah berlangsung beberapa waktu mau tidak mau pelanggan akan sadar bahwa harga produk yang mereka gemari terlalu mahal, dan mulai mencoba produk lain, bahkan bisa jadi bergeser kepada produk pesaing bila dirasakan produk tersebut mampu memberikan value yang tidak jauh berbeda kalau tidak bisa dikatakan sama. Saat-saat seperti inilah yang harus segera diidentifikasi oleh perusahaan dengan memutuskan berbagai langkah untuk mempertahankan konsumennya, salah satunya bisa melalui strategi mark down.

Salah satu tantangan dalam melakukan strategi mark down adalah konsumen saat ini masih banyak yang berpendapat bahwa tingkat harga berbanding lurus dengan kualitas, jadi produk dengan harga mahal dianggap memiliki kualitas yang baik. Demikian pula sebaliknya harga murah maka kualitas rendah, maka strategi mark down juga memiliki dampak negatif yaitu apabila produk yang di mark down diinterpretasikan oleh konsumen sebagai produk yang cacat produksi, kualitas produk mark down tidak sebaik biasanya, bahkan dianggap sebagai produk sisa yang tidak laku pada masa penjualan sebelumnya. Oleh karena itu pengkomunikasian strategi mark down kepada konsumen sangat diperlukan. Diharapkan pula masyarakat saat ini lebih teredukasi dengan banyaknya contoh dipasaran yang menunjukkan bahwa harga tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas, contoh tersebut antara lain keberhasilan produk-produk otomotif Jepang menyerbu pasar Amerika dan Eropa dengan harga lebih murah tapi dengan kualitas tidak kalah dengan produk dari negara-negara di benua tersebut, malahan produk-produk Jepang juga memberikan warna baru melalui inovasi-inovasi yang belum ada sebelumnya seperti cc yang lebih rendah sehingga produk otomotif Jepang hemat bahan bakar, demikian pula jenisnya yang banyak sehingga memberikan kemudahan bagi konsumen untuk memilih yang paling sesuai. Demikian pula contoh yang terjadi di tanah air, yaitu dengan berdirinya pusat perbelanjaan Carrefour bila dibandingkan dengan penguasa pasar sebelumnya HERO. Carrefour yang memberikan harga murah namun dengan kualitas barang yang baik perlahan-lahan merebut pangsa pasar HERO yang menawarkan harga lebih tinggi. Contoh ini diharapkan semakin memperkuat asumsi masyarakat bahwa harga mahal bukan berarti kualitas barang juga baik, karena harga yang mahal bisa juga terjadi akibat proses produksi yang tidak efisien. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi mark down adalah sebuah pilihan strategi promotional pricing yang dapat ditempuh untuk meningkatkan penjualan produk. Mark down bukan hanya sekedar mengurangi harga produk sehingga lebih murah namun harus mempertimbangkan factor segmentasi pasar, promotional pricing, competitive pricing, sehingga perusahaan memiliki bottom-line bagus, dan menjadi pemenang di pasaran

0 komentar:

Posting Komentar